ADA empat cerita yang menarik untuk kita simak di awal tulisan ini. Cerita pertama, adalah mengenai beberapa jawaban yang penulis terima bila penulis bertanya kepada para mahasiswa mengenai rencana mereka bila telah lulus sekolah, baik yang lulus program sarjana maupun program master. Hampir seluruh jawaban adalah: “inginnya sih bisnis sendiri…tapi…”, dan bermacam-macam lah alasannya, mulai dari “tidak ada modal”, “tidak tahu mau bikin apa”, “tidak punya teman bisnis”, “bukan keturunan pedagang” hingga “khawatir tidak punya penghasilan yang tetap”.
Cerita kedua, adalah kenyataan bahwa penulis kerap mendengar para ustadz bercerita bahwa sebetulnya banyak saudara-saudara kita pengusaha asal Timur Tengah, ingin sekali mulai menanamkan uangnya di Indonesia. Namun demikian, keinginan ini tidak disambut dengan kesiapan para aktivis Indonesia yang sekaligus pengusaha. Pengusaha muslim yang juga aktivis biasanya tidak memiliki konsep dan perencanaan bisnis yang baik yang dapat dipresentasikan.
Atau secara singkat, pebisnis muslim belum memiliki profesionalisme sehingga tidak dapat mempresentasikan rencana usahanya sebagaimana praktik bisnis yang umumnya.
Demikian kurang teroganisirnya pebisnis kita, sehingga sangat tidak meyakinkan dari sisi bisnis. Seringkali bila ada aktivis kita yang mengajukan permohonan kerjasama dalam bentuk pasokan dana untuk usaha, saudara-saudara kita dari Timur Tengah malah memberikan dana tersebut sebagai “infak”, bukan sebagai investasi.
Cerita ketiga, melanjutkan cerita kedua, dimana ada sebuah saudara kita, sebutlah PT N, yang mengajukan permohonan kerja sama usaha kepada saudara kita pengusaha dari Timur Tengah, sebutlah brother H, dengan proposal yang jelas. Alhamdulillah bantuan itu didapat. Enam bulan berlalu dan waktu batas kerja sama habis.
Ternyata perusahaan N ini belum dapat memberikan hasil sebagaimana yang diajukan dalam proposal awal kerja sama. Walau pun dengan kenyataan seperti ini, pihak manajemen PT N tetap memberikan laporan yang lengkap, mengemukakan alasan-alasan kenapa target tidak tercapai, sekaligus mengemukakan rencana-rencana ke depan, lengkap dengan proyeksi penjualan dan keuangan, sembari tentunya minta maaf dan minta tambahan perpanjangan kerja sama selama satu tahun.
Permohonan dikabulkan oleh brother H. Enam bulan kedua berlalu, PT N kembali membuat laporan, menggambarkan bahwa keadaan lebih baik, dan insyaallah di akhir kerja sama, keuntungan sebagaimana yang direncanakan di awal proposal, akan dicapai. Setelah laporan kedua dibuat, satu bulan kemudian, brother H datang ke Indonesia untuk bertemu dan mengutarakan niatnya ingin kerja sama investasi lebih besar dan berjangka panjang untuk membangun PT N.
Dalam pertemuan itu juga dikemukakan oleh beliau bahwa sebelumnya beliau menganggap uang itu sebagai infak dan sudah dianggap hilang. Tetapi karena beliau mendapat laporan perkembangan terus, akhirnya beliau mengambil kesimpulan bahwa saudara-saudaranya di PT N ingin mengembangkan bisnisnya dengan serius.
Cerita terakhir, mengenai pengalaman penulis pada saat sekolah dimana dalam sebuah praktek kerja nyata penulis membuat proposal bisnis dan mengajukan permohonan kredit ke perbankan Amerika. Pada saat mengajukan proposal pengembangan bisnis kecil ke Busey Bank, bank kecil di kota Urbana, Illinois, USA, penulis mempresentasikan bisnis plannya, dan setelah dievaluasi, dinyatakan laik untuk mendapatkan kredit. Selanjutnya, dikemukakan oleh pihak bank bahwa kalau tidak memiliki modal, maka proposal dapat diajukan ke Asosiasi Pengusaha Kecil (Small Business Association, disingkat SBA), dan apabila SBA menyetujui, SBA akan mengeluarkan surat rekomendasi untuk dibawa ke bank, dan bank akan memberikan pinjaman…tanpa agunan!.
Keempat cerita di atas kalau diringkas, dapat diintisarikan sebagai berikut. Cerita pertama mengenai pemahaman, sikap dan motivasi umat kita yang boleh dibilang bermental “pegawai”, cerita kedua mengenai kesempatan bisnis yang terbuka lebar baik dalam bentuk bantuan dana mau pun jaringan, cerita ketiga mengenai profesionalisme dan corporate culture (kebudayaan perusahaan), dan cerita keempat adalah peran asosiasi pengusaha kecil yang dapat menghubungkan pengusaha kecil dan pihak perbankan.
Bila kita melihat dalam gambaran yang lebih besar, bicara pengusaha muslim, kita pahami sebagian besar adalah pengusaha kecil menengah. Oleh karena itulah, permasalahan yang dihadapi pengusaha muslim, lebih kurang sama dengan permasalahan UKM.
Sebagaimana kita pahami pula, saat ini pengembangan UKM sudah menjadi jargon politik yang mudah dan indah untuk didengarkan, tetapi sulit dilaksanakan. Sebagaimana kita dengar, kredit sebesar 30 triliun akan disalurkan sektor perbankan ke UKM tahun ini, namun baru sekitar 50% yang tersalurkan.
Sebagaimana kita pahami pula, saat ini pengembangan UKM sudah menjadi jargon politik yang mudah dan indah untuk didengarkan, tetapi sulit dilaksanakan. Sebagaimana kita dengar, kredit sebesar 30 triliun akan disalurkan sektor perbankan ke UKM tahun ini, namun baru sekitar 50% yang tersalurkan.
Dari fakta ini, ada dua point yang dapat kita lihat. Pertama, bila kita melihat dalam angka absolut, tampaknya angkanya besar, namun bila dibandingkan total kredit yang disalurkan sektor perbankan untuk sektor swasta yang mencapai 300 triliunan, 30 triliunan berarti hanya 10% dari total kredit. Padahal, kita semua tahu, 99.9% penyerapan tenaga kerja merupakan jasa UKM (baik yang formal mau pun informal). Belum lagi kalau kita melihat bahwa ternyata UKM menyumbang 60% PDB Indonesia.
Dengan kata lain, dibandingkan dengan besarnya sumbangsih yang diberikan oleh UKM, program-program pembinaan dan pengembangan UKM belum lah berarti banyak untuk pengusaha kecil menengah.
Poin kedua adalah, dengan hanya tersalurkan 50% dari total kredit tersedia, menunjukkan ketidaksiapan UKM untuk berinteraksi dengan sistem perbankan. Ketidaksiapan untuk menjadi perusahaan yang “bankable”, merupakan puncak dari keempat point yang digambarkan di atas. Oleh karena itulah, diharapkan tumbuh lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang dapat menggarap keempat point pengembangan pengusaha muslim. Dan penulis yakin diadakannya rubrik bina usaha ini adalah ikhtiar kita untuk mengembangkan dunia usaha muslim, memecahkan sebagian permasalahan umat, menambah kapasitas da’wah, dan membangun perekonomian negeri ini. [* Staf Pengajar FEUI dan Ketua Jaringan Pengusaha Muslim Indonesia/sumber: Majalah Saksi]
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !